TEMPO.CO, Jakarta - Pakar ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Rahdi, melihat peran Menteri Keuangan Sri Mulyani sangat penting menentukan seberapa besar Indonesia memperoleh bunga pinjaman untuk pendanaan transisi energi dari skema Just Energy Transition Partnership (JETP).
Sebab, Sri Mulyani merupakan co-chair Koalisi Menteri Keuangan Dunia untuk Perubahan Iklim, yang namanya telah diperhitungkan dunia.
"Saya kira Sri Mulyani tepat ditempatkan sebagai co-chair. Dia kan sudah lama di World Bank. Itu bekal dia untuk melobi lembaga internasional agar Indonesia mendapat pinajaman murah, paling tidak dari World Bank, IMF, atau ADB," kata Fahmy saat ditemui di Departemen Ekonomi dan Bisnis UGM, Yogyakarta, 21 November lalu.
Baca: RI Dapat Pembiayaan Transisi Energi Rp 311 Triliun, Sri Mulyani Cs Siapkan Proyek
Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 15-16 November, Indonesia memperoleh komitmen bantuan dari kemitraan G7+ untuk pendanaan transisi energi senilai US$ 20 miliar atau setara dengan Rp 311 triliun. Dana itu diberikan dalam bentuk hibah dan pinjaman.
Belum terang seberapa besar porsi pembagian antara pinjaman dan hibah yang didapatkan Indonesia. Seorang sumber Tempo di Kabinet Jokowi menyatakan pemerintah akan mengupayakan negosiasi untuk memperoleh bunga rendah jika bantuan itu berbentuk pinjaman.
Adapun dalam enam bulan ke depan, pemerintah bakal menyusun rencana pemanfaatan dana transisi energi, seperti untuk mempercepat pensiun dini PLTU batu bara. Fahmy mengakui pendanaan dalam bentuk pinjaman akan menambah beban lantaran bunga utang yang ditanggung Indonesia kian besar.
Selanjutnya: Batas Atas Kemampuan Bayar Utang Pemerintah